Menjadi Muslim di Negara Shinto

Penulis: Muhammad Fahmi Aziz

Photo by: Muhammad Fahmi Aziz

Di Indonesia, menjadi seorang yang memeluk agama Islam adalah sesuatu yang normal atau biasa saja, dikarenakan ratusan tahun sejarah peradaban masyarakatnya meniscayakan kehadiran Islam sebagai agama yang bisa diterima oleh penduduk melalui berbagai macam kebudayaan. Sehingga, mulai dari kultur, fasilitas, dan atmosfir Indonesia saat ini mendukung seorang muslim untuk menjalankan ibadah.

Beda halnya dengan di luar Indonesia, khususnya di negara Jepang, menjadi muslim terkadang menemukan banyak kesulitan-kesulitan dalam menjalankan Ibadah. Saya sebagai seorang mahasiswa di salah satu kampus di pusat negara Jepang, Tokyo, dalam tulisan ini akan membagikan pengalaman empiris selama menjalani kehidupan sebagai seorang muslim di Tokyo.

Secara umum, Jepang yang memiliki kepercayaan terhadap agama Shinto dan kepercayaan animisme menjadikannya negara dengan kuil-kuil. Kuil-kuil tersebut dibangun hampir semua di tempat-tempat dan sudut-sudut kota, dari yang paling besar dan luas seperti Meiji Jingu, sampai yang kecil yang hanya berukuran 1x2 meter.

Dalam pelaksanaan ibadah wajib bagi muslim, di Jepang tidak ada masjid-masjid ataupun mushola sebagai fasilitas umum. Masjid atau tempat salat hanya bisa dihitung jari dan tempatnya berjauhan. Itupun ukurannya juga tidak sebesar yang ada di Indonesia. Di beberapa tempat seperti bandara dan pusat perbelanjaan yang ramai turis, sering ditemukan prayer room yang disediakan oleh pihak pengelola, namun juga tidak banyak. Sehingga untuk salat, tempat-tempat kecil seperti ruangan penyimpanan barang ataupun sepetak kecil dari jalan yang jarang dilewati oleh orang-orang sering menjadi tempat ibadah. Tentunya, saya selalu membawa sajadah untuk dipakai sebagai alas salat. Begitu pula dengan tempat wudhu, tentunya di dalam kamar mandi tidak ada tempat khusus untuk berwudhu. Sehingga saya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang tersedia saja seperti wastafel atau tempat khusus untuk mencuci yang biasanya terletak di sudut ruangan ujung toilet.

Ketika hari Jumat, dimana salat Jumat wajib bagi pria, tersedia masjid yang menyediakan beberapa gelombang salat Jumat yang jaraknya cukup jauh dari kampus, sekitar hampir 3 kilometer dengan berjalan kaki. Untungnya, kampus punya komunitas muslim yang juga melaksanakan salat. Khusus untuk shalat Jumat, mereka akan meminjam sebuah ruangan yang agak besar, menggelar sajadah panjang dan menggilir orang-orang yang membawakan khutbah kepada sesama mahasiswa. Komunitas itu bernama TUICS yang memiliki merupakan kepanjangan dari Tokyo University Islamic Culture Society. Meskipun ruangannya terbatas, setiap salat Jumat pasti akan selalu cukup untuk semua orang. Berbeda dengan di masjid, TUICS hanya melaksanakan salat dalam satu gelombang. Sehingga jika ada yang terlambat dan tidak sempat ikut, maka tidak bisa melaksanakannya di tempat tersebut karena ruangan akan segera dikunci kembali.

Hal kedua menjadi perhatian adalah makanan halal. Disini belum ada Lembaga khusus seperti Majelis Ulama Indonesia atau Kementerian Agama yang mengurusi sertifikasi halal, sehingga sangat sulit untuk mendapatkan makanan yang betul-betul halal. Produk-produk halal biasanya merupakan barang impor dari negara-negara lain seperti Brazil, Thailand, Filipina, Indonesia, India, dan negara lainnya. Produk daging seperti ayam, sapi, dan kambing halal dijual bebas terbatas disini. Hanya toko-toko tertentu saja yang menyediakan barangnya. Terkadang harus menempuh perjalanan jauh menggunakan kereta ke kota lain untuk bisa mendapatkan produk-produk tersebut. Ada beberapa orang Indonesia yang membuka gerai dan kedai untuk produk-produk khas Indonesia seperti bumbu masakan, mie instant, daging, obat tradisional hingga makanan beku seperti bakso dan pempek. Harganya tentu sangat jauh berbeda dengan yang di Indonesia. Seperti mie Instant dengan merek Indomie harganya 10 ribu rupiah per pcs. Meskipun seperti itu, produk-produk Indonesia selalu ramai pengunjung.

Halangan bahasa juga seringkali membuat kesulitan dalam memahami apakah sebuah produk itu halal untuk dimakan atau tidak. Secara pribadi, bahasa Jepang sangat sulit dipelajari karena tidak menggunakan huruf latin, sehingga seringkali aplikasi penerjemah sangat membantu dalam memahami tulisan Jepang. Selain itu, terdapat aplikasi yang dapat membantu mendeteksi produk secara langsung dengan cara memindai kode bar yang tertera pada produk, aplikasi tersebut bernama Halal Japan. Aplikasi ini sangat mudah untuk digunakan, seseorang tinggal mengarahkan pemindai ke barcode produk, nanti akan keluar data yang menunjukkan seberapa halal atau haramnya produk tersebut. Halal Japan tersedia gratis selama 7 hari dan jika ingin digunakan seterusnya bisa dengan melakukan subscribe sebesar 150 yen perbulan. Harga yang cukup terjangkau untuk mendapatkan informasi. Namun, terkadang ada juga produk yang belum masuk dalam aplikasi ini sehingga jika produk dipindai, tidak akan muncul status dari produk tersebut. Meskipun begitu, aplikasi ini memiliki data dari jutaan produk yang ada di Jepang dari berbagai macam supplier, supermarket, minimarket dan tempat belanja lainnya. Menurut saya, aplikasi ini cukup membantu, terkhusus jika ingin membeli barang di kombini (convenience store atau mini market).

Selanjutnya adalah perihal bagaimana orang Jepang memandang atau menilai orang yang beragama Islam?. Sejauh yang saya alami, mereka sangat menghargai orang lain. Nilai-nilai kesopanan, saling perhatian, tenggang rasa sangat dijunjung tinggi disini. Saat pertama kali datang dan pertemuan bersama mahasiswa lain satu jurusan. Ada juga orang Indonesia yang merupakan mahasiswi doktoral. Kami kenal dekat karena sebelumnya aku menghubungi dia untuk keperluan beasiswa, informasi kehidupan di universitas, dan hal lain perihal penelitian. Ia menyampaikan di ruang pertemuan bahwa kita berdua akan menggunakan ruang penyimpanan untuk beribadah. Dan respon yang diberikan oleh dosen kami ialah ruangan tersebut sebaiknya dibersihkan karena terlihat agak kotor. Kalian bisa menyimpulkan bahwa mereka sangat menghargai ruang-ruang privat seperti ibadah.

Satu hal lagi mengenai kehidupan muslim di Jepang. Disini, setiap ada momen penting seperti penyambutan mahasiswa baru, perayaan kelulusan, ataupun yang lain, diadakan pesta yang isinya makan dan minum bersama. Dalam pesta suatu waktu, kami diminta untuk membawa makanan dan minuman sendiri untuk dibagi. Di kesempatan yang lain, bahan-bahan masakan dipersiapkan terlebih dahulu, lalu kami memasak bersama sambil bercengkerama. Saya yang minoritas, yang punya aturan-aturan tertentu dalam makanan (halal), berkali-kali ditanya makanan apa yang bisa dimakan dan apa yang tidak bisa, bahkan sampai sekarang. Sehingga jika bisa, mereka menyediakan makanan yang juga bisa aku santap, ataupun menyediakan sejumlah uang agar aku bisa membeli makananku sendiri. Tentunya itu membuat kesan bahwa mereka sangat menghargai prinsip dan pilihan seseorang dan menyediakan pilihan agar kami bisa menikmati momen bersama.

Pada akhirnya, merasakan menjadi minoritas menghadirkan perasaan yang begitu dalam sehingga sekecil apapun perhatian terhadap kepercayaan merupakan bentuk penghargaan dan apresiasi terhadap perbedaan. Dan yang saya yakini, kepercayaan itu tidak perlu ditoleransi atau diperdebatkan, karena Ia sifatnya final. Yang perlu dipikirkan adalah bagaimana dalam perbedaan keyakinan itu kita bisa hidup rukun dan harmonis.

Comments