MENOLAK BERARTI BERTARUH DENGAN MASA DEPAN KESEHATAN ANAK

Penulis: Firnas

Sumber gambar: Canva 
Tulisan telah terbit di: Dialektika Review

Tiga perempuan yang memiliki peran sebagai ibu, istri dan menantu dari struktur masyarakat yang bernama keluarga. Dan mereka sedang tidak sadar telah bertaruh akan masa depan kesehatan anaknya. Siang itu menjadi waktu pertemuan kami untuk menyingkap situasi yang sama sekali mereka tidak duga.

Vaksinasi yang terprogram dalam kegiatan imunisasi dan digalakkan oleh institusi kesehatan merupakan sebuah upaya preventif terhadap tingkat kematian bayi akibat penyakit infeksi. Terobosan dalam dunia kesehatan ini, awalnya digagas oleh Edward Jenner pada tahun 1778 yang mengembangkan vaksin cacar. Di mana kala itu, tingkat kematian akibat penyakit tersebut cukup tinggi. Dan hingga hari ini, vaksin terus dipertahankan dalam bentuk program imunisasi yang wajib bagi anak dari awal kelahiran hingga menginjak usia balita.

Sayangnya ikhtiar preventif tidak selalu disambut baik oleh setiap ibu. Dari 30 ibu yang kutemui terdapat 3 ibu yang mengindahkan upaya preventif. Dan satu dari tiga perempuan beranggapan bahwa vaksin bukanlah penentu masa depan kesehatan anak.

Bermula dari dua perempuan berusia 22 dan 27 tahun, sebutlah mereka Jubaedah dan Bunga. Mereka ibu rumah tangga dan masing-masing memiliki seorang anak yang sama-sama masih bayi. Jubaedah dan Bunga masih tinggal bersama orang tua mereka.

Jubaedah dan Bunga berdomisili di kelurahan Buloa yang merupakan pemukiman padat hunian dengan status “kumuh berat” menurut BPS (Badan Pusat Statistik). Artinya, mereka tinggal di rumah yang tidak memiliki akses terhadap sanitasi layak, tidak memiliki akses terhadap luas lantai >= 7, 2 m2 per kapita, dan tidak memiliki akses terhadap kondisi atap, lantai, dan dinding yang layak. 

Jubaedah tinggal bersama suami, seorang anak dan kedua orang tua Jubaedah di rumah yang berbahan semen, kayu dan berlantai dua milik orang tuanya. Sama halnya dengan Jubaedah, Bunga pun tinggal bersama suami, seorang orang anak dan kedua mertuanya di rumah mertua yang bergaya rumah panggung.

Suami Jebaedah merupakan seorang karyawan di salah satu perusahaan dan suami Bunga adalah seorang pedagang ikan yang berjualan di pasar dari pagi sampai menjelang tengah hari. Ketika matahari mulai bergeser tepat di atas kepala, suami Bunga akan pulang untuk beristrahat dan membawa barang dagangannya jika tidak habis terjual.

Di pemukiman Jubaedah, terdapat lorong-lorong kecil kira-kira selebar 1,5 meter yang menjulur sepanjang deteretan rumah yang memungkinkan hanya dilewati dua buah sepeda motor. Di kawasan tempat Bunga bermukim juga terdapat hal yang sama, selain itu juga ada satu jalan utama yang menjadi jalan masuk ke dalam permukiman.

Jubaedah dan Bunga ditemui sekitar pukul sebelas siang pada hari yang berbeda.  Jubaedah dijumpai di rumahnya dan saat itu ia mengenakan daster berwarna cokelat dengan rambut hitam mengkilat terikat. Berbeda dengan Jubaedah, Bunga ketika itu sedang berada di teras rumah tetangganya sambil menggendong bayi laki-lakinya yang berusia sebelas bulan. Ia sedang beristirahat sembari menunggu kepulangan suami. Kala itu Bunga mengenakan baju kaos dan celana panjang biru dengan rambut hitam sedikit kusam yang terikat.

Jubaedah menyelesaikan jenjang pendidikan formal sampai tamat SMA, namun bagi Bunga, pendidikan formal hanya menyisahkan angan yang hanya dapat ia kenang.

Wajah Jubaedah tampak yakin ketika mengungkapkan bahwa vaksin berguna untuk kesehatan anak. Meski sedikit ragu, hal yang sama juga dikatakan oleh Bunga. Dengan berbekal sedikit pengetahuannya yang ia peroleh dari petugas kesehatan setelah proses melahirkan di puskesmas.

Penuturan yang sama juga dilontarkan oleh, sebut saja Halima, tinggal di Kelurahan Rappokalling yang sebagian wilayah dibelah oleh jalan tol reformasi. Ia menjelaskan bahwa vaksin sangat penting bagi anak untuk kekebalan tubuh dan dapat menghindarkan anak dari sejumlah penyakit seperti polio, hepatitis, dan campak. Hal senada juga diungkapan salah satu kader kesehatan bahwa melalui program imunisasi pemberian vaksin dilakukan sebagai upaya kesehatan untuk melindungi anak dari penyakit seperti polio, hepatitis, campak, meningitis, difteri, dan tetanus.

Alih-alih ukuran pemahaman Jubaedah dan Bunga akan menjamin tindakan mereka, namun harapan jauh dari kenyataan. Mereka Justru tidak memberikan vaksin sesuai dengan imunisasi dasar yang lengkap pada anak.

Tidak mengubah tatapan penuh percaya dirinya, Jubaedah mengungkapkan sejak melahirkan hingga anaknya berusia 7 bulan, ia tidak memberikan satupun jenis vaksin begitu juga keterlibatan dirinya di seluruh kegiatan yang digalakan oleh posyandu.

Matahari siang itu nampak cukup garang, meski suhu panas dari pantulan jalan di belakang kami cukup untuk mengucurkan keringat di wajah, namun tidak menghalangi keinginan Bunga untuk bercerita. Sedikit tergesa-gesa Bunga menjelaskan bahwa anaknya memperoleh vaksin hanya setelah dilahirkan dan hingga usia anaknya sebelas bulan anaknya tidak lagi menerima vaksin dan juga tidak mengikuti kegiatan posyandu.

Pilihan tindakan Jubaedah sedikit banyak diinspirasi oleh ibunya, ungkapnya. Sambil memperbaiki duduknya ia menggali beberapa ingatannya. Pernah ibunya melarang Jubaedah untuk memberikan vaksin kepada anaknya dengan alasan nanti anaknya rewel karena demam. Ia kembali dengan rasa percaya dirinya, Jubaedah menambahkan lagi bahwa di masa lampau ibunya juga tidak memberikan vaksin kepada dia dan seluruh saudaranya. Hingga dia dan saudaranya dewasa dan berkeluarga mereka baik-baik saja.

Lain kondisi keluarga, maka lain pula kisahnya. Bunga yang tinggal bersama mertua juga memiliki ceritanya sendiri. Sembari mengubah posisi duduk anak di pangkuannya dan dengan suara lirih ia mengatakan keinginan untuk memberikan vaksin lanjutan untuk anaknya namun terhalang oleh izin sang suami dan mertua laki-lakinya. “Ndak diizinkan ka sama suamiku, mertua ku juga bilang ndag penting ji,” ungkap Bunga.

Terlihat perubahan ekspresi wajah Bunga ketika ia mengulang perkataan sang suami, meski tidak persis ungkap suaminya bahwa orang akan baik-baik saja meskipun tidak mendapatkan vaksin. Walaupun kala itu Bunga bersikukuh dengan pernyataan yang ia lontarkan kepada sang suami bahwa imunisasi baik untuk anak. Tapi pendirian sang suami tak bergeming sedikitpun.  

Tidak menunggu waktu lama, Bunga kembali bercerita bagaimana usahanya untuk mendapat izin agar bisa segera memberikan jaminan kesehatan untuk masa depan anaknya. Ia berinisiatif untuk berkeluh kesah kepada mertua laki-laki, dengan keyakinan bahwa mertua laki-lakinya sebagai seorang penentu keputusan penting dalam rumah yang dapat mengubah pendirian sang suami, terangnya. Namun yang didapat Bunga jauh dari angan. Dengan mengukuhkan pandangannya ia mengulang pernyataan sang mertua bahwa vaksin tidak penting dan anak baik-baik saja tanpa vaksin. Tidak hanya itu saja, ia juga menambahkan bahwa vaksin tidak dianjurkan dalam agama. Sejak saat itu, tidak ada lagi terbesit diangan Bunga untuk memberi vaksin untuk anaknya.

***

Di tempat yang berbeda, terdapat perempuan berusia 32 tahun, sebut saja dia Intan. Pertemuan kami juga berlangsung di rumah pribadinya yang berlantai dua, bercat putih, dengan lantai marmer putih terang, dan buah empat jendela kaca terpasang kokoh yang hampir seluruhnya menutupi dinding depan rumah, serta pagar rumah menjulang tinggi yang mengelilir seluruh rumah. Intan tinggal bersama keluarga kecilnya.

Sama halnya dengan Jubaedah dan Bunga, di permukiman Intan juga menjulur lorong kecil dan jalan utama sebagai jalan masuk ke wilayah kediaman Intan. Suami intan merupakan karyawan di salah satu perusahaan. Dan Intan menyelesaikan sekolah formalnya hingga tamat SMA.

Saat itu intan mengenakan dress berwarna hitam dan memakai perhiasan cincin, anting serta gelang yang terbuat dari emas dan berukuran kecil. Berbeda dengan Jubaedah dan Bunga, wajah Intan tampak bersih dan alisnya rapi kehitaman dengan rambut terikat hitam mengkilat. Intan memiliki anak laki-laki yang telah duduk dibangku sekolah SD, ada yang sedang asik-asik dengan playgroup dan yang bungsu berusia 6 bulan.

Intan sangat memperhatikan kondisi kesehatan anak-anaknya dengan menjaga si anak selalu bersih, bermain dalam rumah, dan memenuhi nutrisinya, misalnya memastikan anaknya mengkonsumsi sayur-sayuran ketika makan dan tidak lupa buah-buahan untuk anak, tuturnya. Dan untuk mengontrol pertumbuhan si anak, adik ipar Intan rutin membawa anaknya untuk penimbangan dan pemeriksaan status gizi saat posyandu berlangsung di wilayah tempat tinggalnya.

Di bawah sorot lampu ruang tamu terlihat jelas wajah tersenyum dan sembari Intan menegaskan posisi tubuhnya ia berkata seluruh anaknya tidak ada satu pun yang mendapat vaksin. Ia juga menambahkan vaksin tidak menjamin kesehatan anaknya. Sampai anak pertama duduk di bangku SD “alhamdulilah sehat-sehat saja ji”, tuturnya dengan nada senang.

Keputusan Intan untuk menolak vaksin sedikit banyak ia belajar dari pengalaman ibunya. Suatu waktu ibunya pernah bercerita tentang kematian kakak kandungnya setelah memperoleh imunisasi. Menurut ibunya, setelah menerima vaksin dari posyandu si kakak sakit demam dan tidak turun selama beberapa minggu. Meski telah menerima beberapa pengobatan, mulai dari obat tradisional hingga dokter, hasilnya tetap nihil, demam si kakak terus berlangsung sampai berujung pada kematian si kakak. Sejak itu, ibunya tidak lagi memberikan vaksin untuk anak-anaknya, termasuk Intan.

Sesekali Intan mengalihkan pandangnya sembari menjelaskan setiap tindakannya. Ia melanjutkan dari pengalaman Ibunya itu, Intan menolak memberikan imunisasi kepada anaknya, ungkapnya. Saat itu Intan mengakui bahwa sejak ia melahirkan anak pertama hingga sang anak duduk di bangku SD sama sekali tidak memperoleh imunisasi dasar lengkap atau pun imunisasi lanjutan. Dan itu berlanjut ke anak kedua dan anak ketiga.

Saat percakapan kami yang terhenti sejenak, Intan menyuruh anaknya agar tidak lupa untuk meminum susunya dan hati-hati saat bermain. Percakapan kami pun berakhir tepat menjelang Adzan waktu sholat Magrib.  

 

Comments