DEMI MEMBELI BUKU MODUL

Penulis: Firnas 

Photo Created by: Canva

Telah terbit di: Dielektika Review

Pukul 1.40 dini hari waktu Indonesia bagian tengah, Ari duduk di satu sudut tempat pengisian bahan bakar, di musholah yang bersebelahan dengan ATM center. Saat itu, Ari memakai baju kemeja lengan panjang, celana jeans, mengenakan tas berwarna hitam dan memakai kopiah yang juga berwarna hitam.

Saat melihatnya, saya mendekatinya dan bertanya dengan suara pelan, “apa ko bikin di sini?”

Ari diam, wajahnya tampak bingung. Saya beringsut lebih dekat dengan mengulang pertanyaan yang sama dan menambah pertanyaan lain serta tetap menjaga nada suara sambil menatap ke arah matanya, “Kenapa jam segini belum pulang ko?” Tapi Ari tetap tak bergeming.

Suasana senyap masih menyelimuti kami. Mungkin Ari belum bisa menerima keberadaan orang lain yang tiba-tiba menghampiri dan melontarkan sejumlah pertanyaan. Barangkali, bagi Ari, semua yang kutanyakan itu terbilang sulit untuk dijawab. Saat itu Ari masih 15 tahun dan duduk di bangku kelas dua SMP.

Demi mencairkan suasana saya menyodorkan pertanyaan lain.

kau yang jual manisan toh?”

iye kak” jawabnya dengan suara lelah.

Tiba-tiba ia beranjak dari tempat duduknya, sambil mamasang wajah sedikit malu dan dibalut senyum. Ia menuntun saya menuju ke lokasi jualannya digelar. Kami berdiri tepat di pelataran ATM center dan kemudian mengambil posisi duduk masing-masing. Dari bahasa tubuhnya, seolah ia siap untuk memulai percakapan kami.

Dengan gaya bahasa khas anak Makassar, ia menjawab pertanyaan yang telah saya sodorkan tadi. Jelas dikatakannya bahwa ia masih menjual dan bisa pulang ketika barang dagangannya telah habis terjual.

Saat itu, sorot matanya sayup seperti sedang menahan kantuk lagi letih dari hasil aktivitas sepanjang hari. Namun, dengan meyakinkan dia lanjut menjelaskan mengapa ia masih melakukan semuanya sampai selarut ini.

Bahwa ketika siang hari ia harus bersekolah, setelah menyelesaikan proses belajar barulah dia berdagang dan persoalan ekonomi keluarga juga menjadi salah satu alasan.

Waktu telah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.  Ia sedang sibuk mengutak-atik buku di tangannya, buku pelajaran sekolah. Melanjutkan bicang kami, saya ingin tahu alasan lainnya mengapa ia menjual. Dengan nada suara terdengar malu-malu dan padangan meyakinkan ke arah saya, ia berkata bahwa alasannya yaitu agar dapat membeli buku modul.

Saat itu, Ari juga bercerita tentang pengalaman berjualannya di tempat lain dan alasan dia memilih tempat pengisian bahan bakar ini. Bahwa ia pernah mengalami kekerasan di tempat lain, uang hasil jualannya dibajak oleh orang asing. lalu ia berusaha mencari tempat, dimana ia tidak lagi mengalami hal yang sama. Dan tempat pengisian bahan bakar adalah pilihan tepat menurutnya.

Pembicaraan kami terhenti tepat dipukul 2.30 dini hari. Saya membeli barang dagangannya dan kami berpisah setelah menitipkan semangat, serta saran agar ia menjaga kesehatan dengan beristirahat cukup.*

 

Comments