DI ATAS KM SINABUNG

Penulis: Firnas

Sumber gambar: Pinterest_ 
Tulisan telah terbit di: Zine Asa Book Space (IG: Asa book space)

Perjalanan menuju Kota Daeng, kuhabiskan kurang lebih 18 jam melalui jalur laut. Kapal yang kutumpangi telah terisi penumpang dari wilayah timur Indonesia yang hendak menuju ke Indonesia bagian barat. 

Melihat KM Sinabung dari kejauhan, tampak seperti gedung lima lantai yang mengapung di atas air. Warna putihnya kontras dengan warna air laut. Sangat besar ukurannya serupa stasiun pelabuhan Murhum kota Bau-bau.

Di tiket tertulis dek 5 kelas ekonomi. Tak berlama aku segera menuju tempat duduk. Setibanya di tempat yang tertera di tiket, kuletakkan tas dan merebahkan badan. Di sekelilingku, ada yang tampak berlayar sendiri dan ada juga rombongan.

Sejak menempati tempat duduk, ragam bahasa yang kudengar. Ada bahasa Jawa, Makassar, Bugis, Buton dan Muna. Terdengar cukup jelas ketika mereka bercakap-cakap. Kurang lebih, pukul 19.15 Wita, KM Sinabung berlayar. ABK dek, menyiapkan pelayaran, pintu ditutup dan kami pun meninggalkan pelabuhan Kota Bau-bau berlayar menuju Kota Makassar.

Selama pelayaran, para penumpang banyak menghabiskan waktu dengan ragam kegiatan. Dan yang paling digemari oleh penumpang adalah duduk di dek 7 bagian luar kapal sembari menikmati kopi dengan menghisap rokok dan bercakap. Namun, ada juga di antara para penumpang itu yang hanya sekedar ingin menikmati aroma laut dan mengabadikan momen dengan selfie.

Dalam tas telah kusimpan persediaan kopi instan. Kopi kuseduh dan segera menuju ke dek 7. Aku, seperti beberapa penumpang lain, mencoba menikmati manisnya kopi instan dan menghisap beberapa batang rokok.

Dek 7 nyaris terisi penuh oleh penumpang. Dari kursi panjang, pagar pembatas kapal, koridor, dan kapsul sekoci hingga cafetaria tampak penuh. Masih ada sedikit ruang diantara banyaknya penumpang untuk meletakkan gelas kopi hangat di atas kayu pagar pembatas kapal. Meski sudah ada pengumuman dari pesan siaran. Agar tidak bersandar di pagar pembatas, namun hanya itu ruang yang tersisa. 

 Saat itu, jam ditanganku menunjukkan pukul 23.30 Wita. Pengunjung dek itu masih padat. Angin terasa menembus hingga ke tulang. Kopi baru kunikmati 3 teguk dan 1 batang rokok telah habis. Aku dihampiri salah seorang penumpang. Awalnya kulihat dia hanya menempati ruang di sebelahku dan dia meletakkan kopinya saja, tak kuhiraukan. Kopi kuteguk dan lanjut batang ke 2 kuisap.

Penumpang itu tampak ingin memulai pembicaraan. Terlihat ketika ia menghampiri ku sambil senyum dan nampak ia akan melempar satu dua kata. Namun, aku hanya menganggukkan kepala sambil menghisap dalam-dalam rokok di sela-sela jariku. Tak berselang lama, ia menyapa, begini katanya “turun dimana?”, “turun di Makassar”, “dari mana?”, “dari sini Bau-bau”. Dan tak ada lagi percakapan terjadi diantara kami.

Bukan tidak ingin melanjutkan perbincangan kami, tapi bagiku untuk bertegur sapa dan melanjutkan obrolan dengan orang yang baru dikenal tidaklah mudah. Banyak pertimbangan di kepalaku untuk memulai dan melanjutkan pembicaraan. Yang kupikirkan, apakah bahan pembicaraan ini bisa nyambung dan cocok dengan teman bicaraku atau bahan ini tepat untuk dibincangkan, apakah topik ini bisa menyinggung hal privasi atau tidak, dan banyak lagi. Memikirkannya saja, membuat obrolan akan jeda beberapa menit. Dan tentu itu akan membuat aku dan teman bicara menjadi canggung.

Tidak anti sosial, tapi bagiku untuk sekedar menyapa dan mengajak orang yang baru ditemui untuk berbicara banyak kadang membuatku overthinking. Pernah kucoba untuk merespon keramahan orang yang baru kutemui. Menjawab setiap pertanyaan dan memberikan respon balik. 

 Dulu, suatu kali saat selesai mengisi bahan bakar di SPBU dan sejenak istirahat sebelum melanjutkan perjalanan, salah satu petugas pengisian bahan bakar menyapaku dan memulai pembicaraan. Kata petugas SPBU itu “Mau kemana?”, “ke Muna (pulau Muna)”, “oh, dari mana?”, “dari Pasarwajo”, “orang mana?”, “orang Pasarwajo”, “oh, orang cia-cia berarti”, seketika petugas itu bertanya dengan dengan bahasa daerah suku cia-cia (salah satu suku di pulau Buton), yang artinya kira-kira “sudah ada istri? Istrinya orang mana?”, “maaf om, tidak bisa bahasa cia-cia”, dengan wajah heran dia mulai menghardik ketidakmampuanku berbahasa daerah. Namun, untuk menghargai teman berbicara kurespon “begini om, saya lama di daerah perantauan bersama orang tua dan kami di rumah jarang berbahasa daerah”, tak merasa puas petugas SPBU itu menimpali “saya juga merantau lama, di Maluku, tapi bahasa daerah tidak bisa kita lupakan dan saya juga bisa bahasa wolio (salah satu suku di pulau Buton)”.

Semakin jauh, pertanyaan bapak petugas SPBU Itu semakin menyentuh hal-hal privasi. Mulai dari pekerjaan dan lain-lain. Dan itu membuatku semakin tidak nyaman. Dalam pikirku, bagaimana bisa seseorang yang baru ditemui, anda yakin bahwa ia akan nyaman membicarakan hal-hal privasi dan sampai anda menghardik dirinya atas ketidakmampuannya? 

Setiap orang ramah sesuai dengan karakternya. Apakah seseorang itu introvert atau ekstrovert. Bagi mereka yang introvert, mungkin bukan perihal mudah untuk mencairkan pembicaraan pada orang yang baru ia temui. 

Di KM Sinabung, sesaat setelah berlayar, para penjaja dagangan berkeliling. Marketing, promosi dan tawar menawar terjadi selama proses menjajakan barang. Ada pop mie, rokok, kopi instan, biskuit, roti, ayam krispi dan ada juga yang menjual jam tangan. Namun dari semua dagangan ini ada yang menarik perhatianku, seorang pria yang menjajakan ole-ole minyak perkasa. Keperkasaan memang selalu menarik perhatian. 

Perkasa menurut kamus Oxford language secara kata artinya kuat dan tangguh serta berani; gagah berani. Berarti juga kemampuan dan daya tahan dalam beraktivitas. Entah itu aktivitas mengandalkan kekuatan fisik maupun aktivitas memimpin Seperti Samsons, ia diasosiasikan dengan bangunan tubuh fisik kokoh yang disusun dengan otot kekar. 

Seseorang yang hadir menjadi antitesis dari totalitarian dan kesemena-menaan sebuah kekuasaan. Ia berdiri tegak di samping kebenaran dan menghadang setiap penindasan kepada kaum kelas bawah. Lain Samsons, lain juga perkasanya Gajah Mada. Ia dikenal sebagai sosok yang setia dari tahta Majapahit, untuk mempertahankan integritasnya dan memperluas pengaruh kerajaan. 

Karir Gajah Mada dan keperkasaannya terlihat ketika ia terlibat dalam menaklukkan pemberontakan Keta dan Sadeng, yang saat itu sedang memberontak. Setelah bisa menaklukkan, Gajah Mada pada tahun 1334, secara resmi ditunjuk Mahapatih Mangkubumi (Perdana Menteri) untuk menggantikan Mpu Kawes, yang ingin pensiun sejak 1329. Dan kemudian ia dikenal dengan sumpah Palapanya. 

 Samsons dan Gajah Mada telah terbukti keperkasaannya yang dapat kita telusuri dalam beberapa literatur. Namun, minyak perkasa yang dijajakan benarkah bisa perkasa? Pedagang minyak itu pun berlalu begitu saja setiap kali menghampiri setiap meja dan kursi di dek 7 luar KM Sinabung dan belum ada yang tertarik untuk sekedar bertanya dan membelinya. Mungkin para pengguna jasa KM Sinabung juga ingin menjadi perkasa dengan membeli minyak perkasa. Namun, mungkin karena suasana dek 7 luar cukup ramai sehingga menciutkan nyali mereka untuk membeli minyak perkasa yang dijajakan.

Comments