Penulis: Firnas
Bising musik tak kuhiraukan saat itu, jam di tanganku menunjukkan tepat pukul 11.00 siang WITA di atas kapal laut. Di depan Pelnimart (Minimart Kapal laut PELNI) yang sedang berlayar menuju perlabuhan selanjutnya.
Pelnimart tak ubahnya tempat perbelanjaan seperti minimarket
lainya, hanya saja harga yang dipatok untuk setiap item produknya kira-kira dua
kali lebih mahal. Namun dalam pengamatanku, hal itu tidak melemahkan keinginan
para calon pembeli untuk memiliki beberapa minuman atau makanan, demikian
halnya denganku. Saya membeli segelas kopi.
Ketika hendak menuju Makassar, transportasi laut menjadi pilihan
pertamaku. Harga yang dipatok untuk rute Makassar menuju Bau-Bau atau
sebaliknya terbilang sangat terjangkau, kisaran Rp 180.000 untuk tiket kelas
Ekonomi Kapal PELNI.
Di depan Pelnimart, berjejer beberapa meja beserta kursi panjang
kira-kira 1 meter, yang hampir terisi oleh para penumpang bersama kopi dan
makanannya. Di sisi lainnya, saya mendapat kursi kosong. Kulihat sekeliling
para penumpang sedang sibuk menikmati kopi sambil berbincang dengan orang di
sampingnya, tak lupa juga terselip sebatang rokok di jari mereka.
Memperbaiki posisi duduk, saya menikmati kopi hitam sembari
mengambil buku yang terletak tepat di atas meja. “Di Kaki Bukit Cibalak”
karangan Ahmad Tohari, terbitan PT Gramedia tahun 1994 dengan 176 halaman.
Adalah Pambudi, salah satu tokoh yang membuat saya khusyuk
membaca cerita Ahmad Tohari ini. Pambudi merupakan sosok dengan semangat untuk
mengembangkan diri seperti pemuda pada umumnya. Yang selalu memacunya untuk
mengetahui dan berbuat banyak hal, seperti itulah sosoknya dalam imajinasi saya
di awal membaca novel tersebut. Namun semakin jauh menelusuri helai demi helai
kertas, saya menemukan Pambudi sebagai seorang tegap lagi idealis.
Pambudi berkeinginan untuk membuat lumbung koperasi desa yang
banyak faedahnya bagi segenap penduduk desa Tanggir. Ia menjadi risau ketika
terjadi kecurangan pengelolaan lumbung koperasi Desa oleh Pak Dirga sebagai
lurah yang baru terangkat.
Pak lurah bersepakat dengan salah satu pengurus lumbung lainnya
yaitu Poyo untuk memperbesar angka susut guna memperoleh keuntungan berton-ton
padi. Dalam hatinya, ia berbicara pada diri sendiri, mengapa ia tidak seperti
Poyo saja. Yang telah memiliki beberapa barang mewah karena ikut perintah Pak
Lurah. Belum lagi Ketika Pak Lurah bersama Poyo bersekongkol dengan para
tengkulak beras dalam menentukan harga jual padi lumbung koperasi.
Pambudi dihampiri Mbok Ralem untuk keperluan khusus. Merasa tak
berdaya atas kepentingan Mbok Ralem, maka diantarnya Mbok Ralem oleh Pambudi
untuk menghadap kepada pak Lurah perihal memohon bantuan pinjaman dari Lumbung
koperasi yang dikelolanya.
Mbok Ralem perempuan yang sedang berjuang melawan penyakit yang
terus menggerogoti tubuhnya. Dalam benak Ibu dua anak itu, jika mendapat
bantuan dari lumbung koperasi maka akan ia gunakan untuk mengobati penyakit
yang dideritanya.
Namun jauh arang dari panggangan, harapan Mbok Ralem pupus
ketika Pak Dirga berkata “Mbok Ralem, sebenarnya seorang seperti kamu tidak
bisa mendapat pinjaman. Aku tahu, banyak peminjam yang mengembalikan
pinjamannya saja tidak dapat, apalagi bersama bunganya. Jawablah dengan jujur,
apakah dulu kau pernah meminjam padi dari lumbung?” Mbok Ralem hanya merespon
dengan menunjukkan wajah yang seketika pucat.
Benar, dua tahun lalu ia meminjam dari lumbung koperasi dan tak
sempat mengembalikan pinjaman karena hama wereng yang menyerang memusnahkan
padi yang masih hijau. Jangankan mengembalikan pinjaman, untuk makan bersama
kedua orang anaknya saja sudah susah.
Diremas-remas jarinya, benjolan di lehernya terasa menggigit.
Bibirnya gemetar mau berbicara tapi tak dapat mengucapkan sepatah-kata pun dan
air matanya pun mengalir deras. Tak lama berselang Mbok Ralem bangkit dengan
pandangan tak berdaya, mata yang cukup basah dan merah menoleh ke arah Pambudi.
Sebuah batu besar terasa menghujam hati Pambudi.
Tak berselang lama, Pambudi bangkit dan menyanggah Pak Dirga.
“Nanti dulu Pak, jadi perempuan ini tidak akan diberi kesempatan untuk
berobat?” perbincangan mereka tak menghasilkan apa-apa. Pak Dirga tetap
bersikukuh dengan tidak memberikan pinjaman sementara Pambudi terus memegang
teguh dorongan hatinya bahwa perempuan itu layak untuk ditolong.
***
Persona Pambudi mengantarkan saya pada ingatan tentang seorang
yang kukenal. Sebut saja dia Jaya, pemuda yang lahir dari lingkungan sederhana
dan tumbuh dengan visi serta gagasan kuat tentang kemanusiaan.
Setelah menamatkan Pendidikan SMA, Jaya melanjutkan
pendidikannya di Universitas Hasanuddin dan mengambil salah satu Jurusan di
Fakultas Kesehatan Masyarakat. Selama masa studi Jaya terlibat dalam banyak
organisasi kemahasiswaan, baik internal fakultas maupun eksternal dan menempati
posisi strategis di struktural organisasi tersebut.
Dan sebelum menyelesaikan pendidikan Strata Satu. Kira-kira di
tahun 2014, Jaya membuat sebuah Lembaga yang bernama Rumah Insan Budi (RIB).
Fokus Lembaganya yaitu memberikan hunian gratis, pendampingan, pengawalan dan
edukasi proses pelayanan administrasi di Rumah Sakit kepada pasien beserta
keluarganya. Ide dari lahirnya lembaga tersebut muncul ketika Jaya menjumpai
keluarga pasien dari luar provinsi yang kesulitan mencari tempat bernaung
sementara, selama melakukan atau menunggu proses perawatan pasien di Rumah
Sakit.
Tak butuh waktu lama setelah berdirinya Lembaga tersebut,
anggota RIB mengambil langkah awal yaitu observasi ke fasilitas kesehatan
terdekat yaitu Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo. Dan itu dilakukan disela-sela
aktivitas utama dari para anggota RIB. Dari beberapa kali kunjungan
ke Rumah Sakit, RIB satu kali memberikan hunian dan pendampingan kepada pasien
penderita penyakit Oral Cencer, pasien rujukan dari Provinsi
Sulawesi Tenggara, sebut dia Budi.
Kala itu, Jaya secara kebetulan berpapasan dengan salah satu
kerabat Budi yang sedang duduk dibangku yang digelarkan di sudut-sudut koridor
Rumah Sakit. Jaya berinisiatif untuk duduk di sebelahnya. Lalu berusaha
membangun keakraban dengan melontarkan sejumlah pertanyaan basa-basi. Tak butuh
waktu lama, Jaya mengantongi informasi bahwa Budi dan keluarga selama melakukan
pengobatan belum mempunyai rumah untuk tempat tinggal sementara.
Jaya beringsut mendekat, membuat suasana lebih akrab. Ia
kemudian menawarkan hunian kepada Budi beserta keluarganya. Tak lama kemudian,
kerabat Budi lekas menerima tawaran Jaya.
Setelah menyelesaikan kunjungan tahap pertamanya, Budi bersama keluarga
dibondong ke rumah yang disediakan oleh Jaya dan rekan-rekan. Di rumah itu,
keluarga Budi mendapat beberapa informasi yang dibagikan oleh para anggota RIB,
sembari menunggu kunjungan dan pengobatan tahap selanjutnya.
Setelah keluarga Budi, lembaga tersebut absen beberapa waktu.
Dan di tahun 2018 RIB Meski tak lagi digawangi oleh Jaya, serta beberapa
anggota lama RIB. Lembaga tersebut sekali lagi mendedikasikan diri secara
sukarela untuk misi-misi kemanusiaan. Yaitu ketika bencana Tsunami dan likuifikasi
menerpa kota Palu.
Pambudi dan Jaya adalah pemuda yang hidup dengan meneguhkan apa
yang mereka yakini. Meski mereka berjalan sendirian di jalan setapak berkerikil
dan gelap tak bercahaya, mungkin mereka bahagia atas pilihan mereka.
Dengan meyakini sesuatu, maka hal itu menjadi bahan bakar yang
baik dan tidak akan habis meski digunakan untuk menerobos glamornya moderenitas
dan riuhnya perdaban. Dan PelniMart menjadi sebaik tempat untuk mereka yang
melipat jarak dengan membaca.
Comments
Post a Comment